Mereguk Ilmu Menulis dari Mas Iqbal Aji Daryono

 

                                                               

           Saya kemarin mengikuti Bedah buku “Lelaki Sunni di Kota Syiah” yang mana buku tersebut ditulis oleh penulis yang prolifik. Beliau aktif menulis media sosial dan platform online. Artikel maupun esai-esainya selalu nangkring di mojok.com, detik.com, dan masih banyak yang lain. Beliau juga penulis buku “Sapiens di Ujung tanduk”. Saya mendapatkan kesempatan untuk mengikuti diskusi tersebut dengan mahasiswa UIN Satu. 

           Acara bedah buku tersebut dibagi menjadi dua. Diskusi pertama diadakan di Gedung Pascasarjana lantai 5. Saya harus naik lantai 5 dengan tangga. Perjuangan untuk sampai dan mengikuti acara tersebut juga penuh drama. Kembali pada pembahasan, saya sampai di lokasi sekitar pukul 16.01. Saya kira saya terlambat karena acaranya dimulai pukul 15.30 WIB. Sampai lokasi pemateri memamparkan isi dari buku tersebut.

         Adapun di dalam bedah buku tersebut tampak hadir Abah Abad sebagai Reviewer buku “Lelaki Sunni di Kota Syiah”, Mas Edi sebagai Pembedah Buku, dan Mas Aji sebagai penulis buku “Lelaki Sunni di Kota Syiah”. 

      Menurut saya bedah buku tersebut daging semua yang telah disampaikan oleh narasumber.  Pemaparan yang santai tapi serius membuat audiens tidak ngantuk. Abah Abad dengan gaya penyampaian serius tapi menghibur, Mas Edi dengan gayanya santai menyampaikan isi dari buku, serta Mas Iqbal yang berapi-api menyampaikan perjalanannya dari Najaf Hingga Karbala. 

            Menurut Abah Abad buku “Lelaki Sunni di Kota Syiah” isinya daging semua. Beliau membaca buku tersebut hanya 2 jam sudah tuntas. Karena di dalam buku tersebut ada gambar-gambar untuk mengantarkan pembaca tentang suasana di sana. Beliau juga menyampaikan Syiah  ekstrim dan ada yang tidak. Yang ekstrim inilah yang berbahaya. Syiah Ghullat atau ekstrim. Yang membedakan dan mendasari antara Sunni dan Syiah yaitu Imamah.

           Sedangkan menurut Mas Edi beliau membedah buku tersebut kata beliau juga daging semua. Cerita yang disampaikan runtut. Di dalam bukunya diperlihatkan gambar aktivitas di sana. Sehingga membuat pembaca yang menyukai dunia visual akan betah. Syiah tidak sama apa yang dibayangkan. 

      Pada sesi kedua diskusi dilaksanakan di Warkop Marofo Tulungagung. Acara seharusnya 19.30 WIB namun harus bergeser  sekitar pukul 20.30. WIB. Diskusi cukup antusiasme. Karena pada diskusi ini lebih intim dan intens serta lebih dekat dengan Mas Iqbal. Acara diskusi diikuti oleh kalangan mahasiswa serta organisasi kampus mulai dari PMII, Formasta, komunitas literasi di Tulungagung, serta LP2M UIN Satu. Berbagai pertanyaan disampaikan oleh peserta mengenai dunia kepenulisan serta literasi. 

Mas Iqbal menyampaikan bahwa modal menulis adalah membaca buku. Tanpa membaca buku, sulit bagi penulis untuk menghasilkan suatu tulisan yang baik dan berbobot. Beliau menulis buku “Lelaki Sunni di Kota Syiah” menyelesaikan sekitar 3 minggu. Menulis butuh waktu yang panjang. Karena karya nonfiksi membutuhkan data dan analisis yang mendalam. Menulis harus dipaksa tanpa dipaksa tak akan berkarya. Itulah pesan yang saya dapat dari Mas Iqbal Aji Daryono dalam acara diskusi semalam (20/3/2024).


Salam Literasi

Blitar, 21 Maret 2024

Posting Komentar

1 Komentar