Setelah shalat maghrib saya bersiap berangkat menuju madrasah untuk mengajar sambil belajar. Karena hakikat mengajar adalah belajar. Saya persiapkan buku yang akan diajarkan, memasukkan ke dalam tas kecil berwarna navy yang selalu saya bawa. Lalu memakai jaket bomber dengan cepatnya karena waktu yang terus mengepung untuk segera sampai ke tempat mengajar.

Saya kendarai motor buntut berwarna merah marun yang mempesona bagi saya, karena sudah menemani dan setia sampai pada titik ini. Menyusuri jalan dengan angin malam yang sepoi-sepoi sampai merasuk ke dalam tulang.

Sampai pada tempat yang dituju, motor saya parkir dengan cantik. Sayapun segera masuk ke dalam kelas dengan naik tangga. Ternyata dugaan saya benar, sudah ada santri yang menunggu, ada 3 santri yang rajin, tertib dan disiplin patut di contoh tapi selalu duduk paling belakang sendiri.

Singkat cerita, sembari menunggu santri lain yang belum datang. Setelah ditunggu beberapa menit santripun datang bergerombolan. Sayapun mulai mengucapkan salam. Dijawab dengan serentak oleh para santri. Sayapun mengajak para santri untuk berdo'a bersama semoga ilmu yang diperoleh bermanfaat dan barokah.

Mulai pada pembahasan, dengan tema tentang taqdim (mengagungkan) guru. Di dalam kitab yang kita kaji ada sebuah cerita pada zaman khalifah Baghdad bernama Harun Ar-Rasyid. Beliau mengirimkan putranya kepada Al-Ashma'iy untuk mengajari pendidikan dan adab. 

Pada suatu hari khalifah Harun mengunjungi putranya yang berada di rumah Al-Asma'iy kebetulan Al-Asma'iy sedang berwudhu membasuh sendiri kakinya. Maka khalifahpun menegur: "Putraku saya kirim ke mari agar engkau didik dan adab, tapi mengapa tidak kau perintah agar satu tangannya menuangkan air dan tangan satunya lagi membasuh kakimu?"

Seorang khalifah yang sangat kaya raya, dengan kekuasaan yang luar biasa tetap memperhatikan adab dan ilmu. Apalagi adab terhadap guru. Guru memperkenalkan kita kepada Tuhan yakni Allah Swt. Mari kita jaga silaturahmi dan adab kita terhadap guru.

Salam Literasi!

Blitar, 12 Juli 2020